Latihan Mental yang Sesungguhnya


Dalam diri manusia ada kelemahan, kita yakini itu. Tak ada seorang pun yang tak punya kelemahan. Percaya kan?. Aku berfikir sedetail mungkin, apa kebodohanku dalam melakukan sesuatu?.

Kebodohanku adalah takut untuk menanggung sesuatu yang berat. Aku takut ditinggalkan teman, saat aku melakukan sesuatu yang menurut dan yang kuyakinkan adalah benar. Aku takut kesepian. Tapi pada akhirnya dengan ketakutan itu, aku terjebak. Dengan sikap cari aman, daripada aku menakuti perasaan seorang teman, takut ditinggalkan lebih baik aku diam lebih baik sendiri. Tapi ini malah makin menjerumuskanku. Hening, sepi, bodoh sendiri, dengan kesedihan sendiri. Meninggalkan apapun. Sebenarnya jelas dalam tujuan ideology komunisme itu, sederhana. Menghilangkan orang yang malas dan pergi bekerja. Aku sudah menjadi orang yang malas. Rasanya aku perlu dengan ideology itu.

<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<script>
     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({
          google_ad_client: "ca-pub-1045458958372034",
          enable_page_level_ads: true
     });
</script>

Bekerja bukan sesuatu yang bisa menghasilkan uang saja, tappi hakikatnya kerja adalah bisa mengubah sesuatu, bukankah dalam Al Quran pun telah dikatakan “Bekerjalah kamu! Allah, Rasul, serta orang-orang mukmin melihat apa yang kamu kerjakan.” . terkadang aku suka untuk meninggalkan pekerjaan, karena  tidak percaya  dengan kemampuanku sendiri. Bukankah itu naïf?. Pada akhirnya aku tenggelam. Taka ada yang tak bisa dikerjakan, karena hidup adalah untuk bekerja.

Ibadah adalah kerja, mencari teman adalah bekerja, mencari uang adalah kerja. Semua dilakukan untuk mengubah sesuatu dalam hidup kita, bukan hanya mengubah suatu barang menjadi barang yang lain, tapi tak luput dari itu hidup kita sendiri adalah bekerja. Aku sudah merasakan, bagaimana hidup tanpa mengerjakan apapun, rasanya teruruk, rasanya kosong, sangat- sangat tidak enak. Meski terkadang sering berucap keluh kesah tak indah dengan kata-kata negate yang rumit, yang nyatanya kita terus terombang- ambiing dalam lautan, menunggu keajaiban datang, kita perlu berenang ke tepi, entah akan bisa atau tidak bisa berenang, tapi berharap dan berusaha bukankah hal yang terbaik?. Daripada kita mati dalam keadaan pasrah?. Dan bukankah harapan itu sebuah do’a juga? Aku tegaskan, do’a bukan melulu soal kita membaca sesuatu yang berbahasa lain yang kadang tidak kita pahami.

Katanya manusia adalah makhluk sosial, kita butuh yang lain toh untuk hidup. Apapun caranya, untuk bisa bertahan dengan pertolongan Tuhan. Dalam kesepian ini, dalam masa kontemplasi yang panjang ini, akihrnya aku mendapatkan titik temu. Terimakasih Tuhan, terimakasih untuk kehidupanku, terimakasih untuk orang- orang yang ada disekelilingku.

<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<script>
     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({
          google_ad_client: "ca-pub-1045458958372034",
          enable_page_level_ads: true
     });
</script>

Hidup memang perlu tantangan, seperti dalam novel atau sebuah cerita, sependek apapun pasti ada konflik, karena konflik adalah nyawa bagi alurnya, dan syukur dalam akhirnya ada sebuah sisntesis baru untuk memulai kehidupan yang baru meski selanjutnya pasti ada konflik lagi, yang terpenting kita bisa melewatinya, mendapat kesimpulan, juga mendapatl pelajaran, yaa… kehidupan itu tidak kosong kan? Begitupun para ilmuan yang membuat sebuah teori, mereka mendapat suatu masalah lalu mendapat teori lain entah itu bentuk motivasi, kitab suci, apapun itu, lalu kita mendapat simpulan, masalah ini harus diselesaikan seperti apa. Begitulah penyesuaian dari teori dialektikanya Engels. dan aku mengamini pernyataan itu tesis-anti tesis-sintesis, dialektika.

Dalam diri manusia, hampir atau mungkin seluruh manusia di dunia ini ingin disukai oleh semua orang, terutama yang disekelilingnya. Tapi? Dengan apapun yang kita lakukan itu akan berhasil? Tidak. Sebenarnya didunia ini tak ada yang 100%.

engkau tidak akan menyenangkan semua orang. Karena itu, ukup bagimu memperbaiki hubunganmu dengan Allah. Dan jangan terlalu peduli dengan penilaian manusia” – Imam Syafi’i.

Selain pada pandangan orang lain yang telah mengkritik kita dibelakang maupun secara terang-terangan, tidak melulu kita harus menentangnya dengan membuktikan bahwa apa yang kita lakukan adalah benar tetapi itu adalah salah satu bentuk yang lagi-lagi berpola dialektis, masalah-kritik-perubahan. Itulah rangkaian hidup, inilah pelatihan mental yang asli bukan sekadar dimarahi senior di jurusan.

Aku harus bersyukur bisa mendapat masalah yang seperti ini, dan bisa melewatinya. Meski terjal, licin dan beberapa kali terjatuh aku bisa menghadapinya kok. Percayalah, Tuhan tidak akan memeberikan cobaan kepada makhuluknya kecuali ia diberikan kapasitas untuk menghadapinya.


Yang baru mungkin akan agak begitu sulit menemukan yang pas, ah yasudah hidup jalani saja, di dunia ini ada triliunan manusia. Dunia tidak stagnan kan, terkadang kita ada diatas dan dibawah. Ingat, dialektika, setiap kita tertimpa masalah saat bisa mengahncurkannya kita akan merasa menang, merasa lebih baik, merasa bahagia menikmati dunia baru. SEMANGAT!.

Comments

Popular posts from this blog

musik pada masa penjajahan

Bunga Matahari